Kebudayaan Suku Dayak di Pulau Kalimantan saat ini terancam punah.
Masalahnya karena terkait dengan berbagai fenomena perubahan yang
tidak pernah berhenti dan adanya kebijakan pemerintah yang berpengaruh
terhadap
kehidupan masyarakat Adat dayak.
Presiden Masyarakat Adat Dayak Nasional (MADN) Agustin Teras Narang
mengungkapkan hal itu dalam pembukaan Rapimnas MADN di Palangkaraya,
Rabu(26/5).
Dijelaskannya, dalam arus mordenisasi dan perubahan yang menyertai
pembangunan, masyarakat Dayak dihadapkan pada beberapa pilihan sulit
seperti apakah mampu mengembangkan jati diri atau tenggelam dan menjadi
orang asing di rumah sendiri.
"Karena itu Kebudayaan Dayak berada dipersimpangan jalan, kehilangan identitas, dan mengalami masa transisi," tegasnya.
Pembentukan MADN maupun Dewan Adat Dayak (DAD), menurutnya, jangan
dimaknai akan kembali ke masa lampau, atau mengidealkan masa lalu, tapi
yang ingin dilakukan yakni menggali lebih intensif dan mendalam akar
budaya Dayak.
Karena kadangkala untuk menjaga eksistensinya, suatu masyarakat
perlu membenahi diri, menjalani proses akulturasi dalam perubahan yang
dinamis.
"Menyuarakan hati nurani secara murni memang kadang diterima oleh
sementara pihak dengan sikap reaktif dan serta merta diteror dengan
kata-kata bahwa kedaerahan itu sempit dan dipengaruhi unsur Sara (suku
agama dan ras)," ujarnya.
Menyinggung masalah sering terjadinya konflik tanah antara
masyarakat adat dengan pemilik modal yang datang ke Kalimantan,
perdebatan konflik mengenai kepemilikan tanah yang diakui secara adat,
menunjukan sifat-sifat masyarakat Dayak yang adalah kebudayaannya.
"Dengan demikian perdebatan masalah kepemilikan tanah merupakan perbincangan tentang kebudayaan," tandasnya.
Sementara itu ketua III panitia pelaksana Rapimnas Yansen Binti
mengatakan, acara tersebut dihadiri 90 peserta dari perwakilan Dewan
Adat Dayak se- Kalimantan dan beberapa daerah seperti Jawa Timur, DKI
Jakarta, Bali dan Sulawesi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar